Pasal 50 B ayat 2 huruf (c)
Pasal ini memuat aturan melarang adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi.
Bunyi pasal tersebut: “Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:…(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.”
Baca Juga: Selain Starlink,Inilah 5 Penyedia Layanan Internet Satelit Terbesar di Seluruh Dunia
Pasal 50 B ayat 2 huruf (k)
Pasal ini mengatur soal larangan konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik.
Seperti di UU ITE, pasal yang memuat istilah pencemaran nama baik dianggap sebagai “pasal karet” yang membatasi kebebasan pers.
Bunyi pasal tersebut: “Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.”
Pasal 51 huruf E
Pasal ini kontroversial karena RUU Penyiaran 2024 mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan, yang juga tumpang tindih dengan UU Pers 1999.
Bunyi pasal tersebut: “Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dwi Christianto menegaskan bahwa kebebasan pers harus selalu dijunjung tinggi di Indonesia.
“UUD 1945 mengamanahkan hal tersebut sebagai panduan untuk meningkatkan peradaban serta kehidupan berbangsa dan bernegara,” cetus Dwi Christianto.