Selain itu menurut Dwi, IWO juga mengkritik RUU Penyiaran yang melarang penayangan laporan investigasi karena menilai ini akan mengancam kebebasan pers.
“Kami menilai bahwa larangan ini bisa menjadi bentuk pembungkaman pers dan menghambat fungsi media dalam mengawasi penyelewengan kekuasaan serta mengungkap kebenaran kepada publik,” ujar Dwi.
Larangan tersebut dinilai IWO bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan transparansi yang harus dijaga oleh media.
Organisasi pers lain seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Dewan Pers juga menyuarakan kekhawatiran serupa, menekankan bahwa kebebasan pers adalah pilar penting dalam sistem demokrasi yang sehat.
Baca Juga: Kekayaan Tradisi dan Kearifan Lokal Budaya Sunda
“Kami mendukung pernyataan tegas Dewan Pers atas RUU Penyiaran dengan mengedepankan ekosistem kebebasan pers dan peliputan wartawan yang tetap mengacu pada UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, sebagai lex spesialis bagi profesi wartawan,” tegas Dwi.
IWO mencermati beberapa pasal dalam RUU Penyiaran Tahun 2024 yang dinilai bermasalah. Beberapa pasal yang disorot oleh IWO seperti,
Pasal 42 ayat 2
Pasal ini menyebut bahwa sengketa jurnalistik diurusi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang tumpang tindih dengan UU Pers No. 40 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan oleh Dewan Pers.
Bunyi pasal tersebut: “Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”